Jakarta, mediakota-online.com
Praktisi hukum Ricky Vinando menilai kasus polisi tembak polisi di rumah dinas Irjen Ferdy Sambo yang menewaskan Brigadir J atau Brigadir Nopryansyah Yosua Hutabarat bukan pembunuhan berencana. Penilaian Ricky itu berdasarkan sekuens atau urutan waktu yang sudah terungkap sejauh ini.
Dipaparkan, usai diperiksa di Mapolda Jambi pada Minggu (24/7/2022), kekasih Brigadir J, Vera Simanjuntak melalui kuasa hukumnya menyebut masih berkomunikasi dengan Yosua pada Jumat, 8 Juli 2022 pukul 16.43 WIB. Dalam komunikasi itu, Brigadir J hanya bertanya kabar. Sementara, Mabes Polri menyebut peristiwa polisi tembak polisi di rumah Ferdy Sambo terjadi pada pukul 17.00 WIB. Dengan demikian, komunikasi Vera dengan Brigadir J terakhir berlangsung 17 menit sebelum peristiwa berdarah itu terjadi. Sedangkan berdasarkan rekaman CCTV menunjukkan Brigadir J, Bharada E, dan istri Ferdy Sambo menuju rumah pribadi, lalu kembali ke rumah dinas setelah PCR.
“Diperkuat adanya komunikasi terakhir Brigadir J pada pacarnya, Vera pada 8 Juli 2022 pukul 16.43 WIB, mengindikasikan tidak ada penganiayaan yang diikuti dengan pembunuhan berencana,” kata Ricky dalam keterangannya, Kamis (28/7/2022).
Ricky mengatakan, dalam sejumlah kasus, pembunuhan berencana memerlukan waktu dan proses yang agak panjang. Sementara, momen komunikasi terakhir Brigadir J dan Vera dengan peristiwa polisi tembak polisi hanya berjarak sekitar 17 menit. Untuk itu, Ricky menilai peristiwa penembakan Brigadir J merupakan peristiwa spontan bukan pembunuhan berencana, apalagi didahului penganiayaan seperti disebut pengacara keluarga Brigadir J.
“Sesuatu yang tak logis hanya dalam waktu belasan menit karena belum termasuk tembakan, artinya kalau mau dipaksakan tetap ada penganiayaan, dalam waktu belasan menit, tak logis. Karena timbul pertanyaan hukum, kalau luka-luka sebanyak itu tetap akan dianggap sebagai akibat penganiayaan, bagaimana logika hukumnya semua itu menjadi luka hanya dalam waktu belasan menit karena dianiaya lalu kemudian ditembak lalu pelaku meninggalkan TKP,” katanya.
Jika ditarik sebelum terjadinya peristiwa itu, kata Ricky, Brigadir J, Bharada E, dan istri Ferdy Sambo diketahui menuju rumah pribadi Sambo jelang asar atau sekitar 15.10 WIB hingga 15.20 WIB. Mereka kemudian melakukan PCR dan setelah itu kembali ke rumah dinas.
“PCR mungkin 10 menit. PCR kan tidak lama, tak mungkin satu jam kan. Ke rumah pribadi Sambo jelang asar. Asar sekitar pukul 15.30 WIB artinya sekitar 15.10 WIB sampai 15.20 WIB menuju rumah pribadi Sambo, artinya sekitar 15.30 selesai PCR dan sekitar Pukul 15.35 sampai 15.40 WIB kembali ke rumah dinas. Kemudian pukul 16.43 WIB Brigadir J berkomunikasi dengan Vera, artinya ada waktu sekitar lebih dari satu jam Brigadir J berada di rumah dinas terhitung sejak kembali dari rumah pribadi Sambo,” katanya.
Dengan demikian, kata Ricky, Brigadir J berada di rumah dinas Ferdy Sambo selama sekitar satu jam setelah menjalani tes PCR. Dalam rentang waktu itu, Ricky meyakini Brigadir J tidak dianiaya.
“Karena logika hukumnya untuk membuat banyak luka atau penganiayaan yang panjang seperti yang digambarkan pengacara, itu perlu waktu yang agak panjang, tidak bisa dalam waktu belasan menit yang sangat singkat. Untuk jadi lebam mayat dan kaku mayat saja perlu waktu. Makanya Komnas HAM tidak lagi mempersoalkan yang kemarin dianggap luka akibat penganiayaan karena itu bukan akibat penganiayaan, tetapi lebam mayat dan kaku mayat, yang hukum pidana tetapi belajar kedokteran forensik pasti pahamlah itu,” tegasnya.
Ricky mencontohkan kasus Engeline yang meninggal dunia karena dianiaya oleh ibu angkatnya. Dikatakan, penganiayaan yang dialami Engeline berlangsung selama berhari-hari hingga menimbulkan sekitar 28 luka. Apalagi, dalam kasus Brigadir J, terdapat baku tembak dengan Bharada E. Menurut Ricky, luka tembak yang membuat Brigadir J tewas.
“Karena sangat tak logis luka tembak masuk dan keluar tidak mengakibatkan kematian. Jadi, secara logika hukum tidak ada penganiayaan pada Brigadir J sejak berada di rumah dinas perkiraan pukul 15.35 WIB sampai dengan 15.40 WIB setelah kembali dari rumah pribadi Sambo. Pun sejak komunikasi Vera pukul 16.43 WIB, juga tidak ada pembunuhan berencana. Karena sangat tidak logis secara hukum dan kriminologi melakukan pembunuhan berencana di dalam rumah dinas karena rumah dinas bukan TKP yang aman untuk melakukan pembunuhan berencana kecuali ada kejadian spontan, maka itu bisa saja terjadi. Itu poin hukumnya. Jadi tak ada Pasal 340 KUHP (pembunuhan berencana) maupun Pasal 351 ayat 3 KUHP (penganiayaan yang menyebabkan meninggal dunia) dalam kasus Brigadir J,” paparnya.
Menurut Ricky, jika dirunut, istri Ferdy Sambo cukup lama sendirian berada di dalam kamar di rumah dinas. Hal ini mengingat, istri Ferdy Sambo kembali ke rumah dinas bersama Brigadir J dengan Brahada E. Jika dikaitkan dengan laporan istri Ferdy Sambo kepada polisi mengenai pengancaman dan pencabulan, tak tertutup kemungkinan terjadinya peristiwa pengancaman dan pencabulan. Dengan status laporan yang telah naik ke tahap penyidikan, polisi menemukan adanya dugaan tindak pidana oleh Brigadir J.
Dengan demikian, Ricky menuturkan, penyebab tertembaknya Brigadir J oleh Bharada E adalah diduga karena adanya teriakan istri Ferdy Sambo karena Brigadir J masuk ke kamar istri Sambo dan melecehkannya. Teriakan itu, katanya terdengar oleh Bharada E dan justru Brigadir J melepaskan tembakan terlebih dahulu ke arah Brahada E. Penembakan itu kemudian dibalas dengan tembakan oleh Brahada E hingga mengakibatkan Brigadir J tewas.
“Sehingga dalam kasus baku tembak ini terbuka kemungkinan Bharada E akan menjadi tersangka karena status LP sudah naik ke penyidikan. Diduga terpenuhi unsur 338 KUHP pada Brahada E. Sehingga dengan demikian kasus ini sama sekali tidak ada kaitan dengan Irjen Pol Ferdy Sambo karena Ferdy Sambo baru ke TKP rumah dinas pada jam 17.12 WIB atau 12 menit kemudian,” katanya. (Sis/Benn)