• Jum. Okt 3rd, 2025

MEDIA KOTA Online

Sarana Informasi Rakyat

Kebebasan Pers yang Terbelenggu

ByWira

Sep 30, 2025

KEBEBASAN pers kembali berada di persimpangan jalan. Sabtu, 27 September 2025, seorang wartawan CNN Indonesia kehilangan kartu liputan istana setelah melontarkan pertanyaan tentang kasus keracunan makanan bergizi (MBG) kepada Presiden Prabowo Subianto di Bandara Halim Perdanakusuma. Insiden itu terjadi sesaat setelah Presiden kembali dari kunjungan luar negeri. Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden menjelaskan bahwa sebelumnya telah ada instruksi agar pertanyaan wartawan dibatasi hanya pada agenda kunjungan luar negeri Presiden. Namun, pertanyaan tentang MBG dianggap melanggar aturan main. Implikasinya jauh lebih besar daripada sekadar “administratif”: pers kembali menghadapi belenggu kekuasaan yang mengancam fungsi kritisnya.

 

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menegaskan bahwa pers memiliki fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, serta kontrol sosial. Dalam fungsi terakhir itulah, pers dituntut untuk berani mengawasi, mengkritik, dan memberikan saran atas penyelenggaraan pemerintahan. Pertanyaan wartawan CNN Indonesia terkait MBG jelas masuk dalam ranah kontrol sosial itu. Program MBG, yang semula dijanjikan sebagai solusi stunting, kini menjadi sumber polemik akibat sejumlah kasus keracunan massal. Publik berhak tahu bagaimana Presiden menanggapi kegagalan implementasi kebijakan tersebut. Pertanyaan itu bukan sekadar keingintahuan pribadi seorang jurnalis, melainkan representasi keresahan masyarakat luas.

 

Ketika istana justru merespons dengan mencabut kartu liputan, publik mendapat pesan berbahaya: hanya pertanyaan yang sesuai skenario pemerintah yang boleh diajukan. Padahal, pers bukanlah corong negara. Jika hanya narasi tunggal yang dibiarkan hidup, demokrasi kehilangan denyutnya.

 

Pola Komunikasi Kekuasaan Kasus ini membuka tabir pola komunikasi politik pemerintah. Alih-alih membiarkan jurnalis menjalankan independensinya, kekuasaan cenderung mengatur bahkan isi pertanyaan. Arahan agar wartawan hanya menyinggung agenda luar negeri Presiden menunjukkan pendekatan komunikasi satu arah, yang lebih mengutamakan kenyamanan politik daripada transparansi.

 

Padahal, jurnalisme lahir justru untuk menanyakan hal-hal yang tidak nyaman. Pertanyaan kritis, meski mengusik, adalah inti dari peran pers sebagai penjaga akuntabilitas. Menolak pertanyaan sulit sama artinya dengan menolak kritik, dan itu adalah jalan menuju otoritarianisme. Jika pola ini berlanjut, media hanya akan memproduksi jurnalisme seremonial: berita penuh basa-basi diplomatik, siaran yang hanya menonjolkan keberhasilan, tanpa keberanian menggali kegagalan. Publik pun hanya disuguhi potret yang indah di permukaan, tetapi miskin substansi.

 

Konstitusi Indonesia melalui Pasal 28F UUD 1945 menegaskan hak setiap orang untuk berkomunikasi, memperoleh informasi, serta menyampaikan pendapat. Pencabutan kartu liputan istana pada dasarnya menutup akses jurnalis untuk memperoleh informasi langsung dari sumber utama negara. Secara tidak langsung, hak publik untuk tahu ikut terlanggar. Ancaman demokrasi tidak selalu hadir dalam bentuk represi fisik. Ia bisa muncul dalam bentuk sanksi administratif yang membatasi akses, tekanan ekonomi pada media, atau kriminalisasi menggunakan pasal karet. Insiden wartawan CNN hanyalah salah satu wajah dari belenggu pers yang kian halus, tetapi tidak kalah berbahaya.

 

Konstitusi Indonesia melalui Pasal 28F UUD 1945 menegaskan hak setiap orang untuk berkomunikasi, memperoleh informasi, serta menyampaikan pendapat. Pencabutan kartu liputan istana pada dasarnya menutup akses jurnalis untuk memperoleh informasi langsung dari sumber utama negara. Secara tidak langsung, hak publik untuk tahu ikut terlanggar. Ancaman demokrasi tidak selalu hadir dalam bentuk represi fisik. Ia bisa muncul dalam bentuk sanksi administratif yang membatasi akses, tekanan ekonomi pada media, atau kriminalisasi menggunakan pasal karet. Insiden wartawan CNN hanyalah salah satu wajah dari belenggu pers yang kian halus, tetapi tidak kalah berbahaya. Efek gentar (chilling effect) pun tak terelakkan. Wartawan lain akan berpikir dua kali untuk mengajukan pertanyaan kritis, khawatir mendapat nasib serupa. Lama-kelamaan, ruang publik kita akan miskin pertanyaan, dan demokrasi kehilangan oksigen yang membuatnya hidup.

 

Sensitivitas Politik di Balik MBG Mengapa isu MBG terasa begitu sensitif? Program ini sejak awal diproyeksikan sebagai kebijakan unggulan Presiden Prabowo. MBG dijanjikan sebagai solusi besar-besaran untuk gizi buruk dan stunting. Namun, realitas di lapangan berkata lain: distribusi yang terburu-buru, lemahnya pengawasan, dan minimnya uji mutu justru menimbulkan keracunan massal. Pertanyaan wartawan CNN Indonesia hanyalah refleksi dari keresahan publik: bagaimana Presiden menyikapi kegagalan itu? Namun, karena MBG sarat muatan politik, pertanyaan itu dianggap mengganggu narasi positif yang ingin dibangun istana. Alih-alih dijawab dengan transparan, respons yang muncul justru berupa pembungkaman.

 

Ironisnya, dengan menjawab secara jujur dan terbuka, pemerintah sebenarnya bisa menunjukkan akuntabilitas. Menghindar hanya memperkuat kesan bahwa ada sesuatu yang ditutup-tutupi. Pemerintah memang berhak mengatur teknis liputan. Namun, pengaturan berbeda dengan pembatasan substansi. Jika Biro Pers ingin wartawan fokus pada isu luar negeri, solusinya bukan mencabut kartu liputan, melainkan membagi sesi tanya jawab. Misalnya, sesi pertama untuk agenda kunjungan, sesi berikutnya untuk isu domestik. Pengaturan teknis yang sehat justru memperkuat kepercayaan, karena semua pihak mendapat ruang. Sebaliknya, sanksi administratif hanya menumbuhkan ketidakpercayaan. Menghukum wartawan karena pertanyaan kritis sama saja dengan menghukum rakyat yang ingin tahu.

 

Belajar dari Masa Lalu dan Marwah Demokrasi Sejarah seharusnya menjadi pengingat. Pada era Orde Baru, pers dibungkam melalui sistem perizinan, sensor, dan ancaman pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Reformasi 1998 membuka kembali keran kebebasan pers, memberi ruang bagi suara kritis, dan menumbuhkan keberanian media untuk mengawasi kekuasaan. Namun, dua dekade kemudian, kita menghadapi tantangan baru. Pers tidak lagi dibungkam dengan sensor kasar, melainkan dengan cara yang lebih halus: pembatasan akses, tekanan administratif, hingga pembentukan stigma terhadap media tertentu. Kasus wartawan CNN adalah cermin kecil dari tren besar itu. Jika dibiarkan, belenggu pers akan semakin menjerat, dan bangsa ini bisa kembali terjebak dalam siklus lama: demokrasi yang hanya ada di atas kertas.

 

Presiden Prabowo dan jajaran pemerintah harus melihat kasus ini sebagai peringatan. Demokrasi yang sehat tidak lahir dari ruang publik yang sunyi, tetapi dari keberanian menghadapi kritik. Kebebasan pers bukan hadiah dari negara, melainkan hak konstitusional rakyat. Negara boleh mengatur teknis liputan, tetapi tidak berhak membatasi substansi pertanyaan. Pers bukan bawahan pemerintah, melainkan mitra kritis yang menjaga agar kekuasaan tetap di relnya. Jika pemerintah sungguh ingin meraih kepercayaan publik, maka jawabannya bukan pembungkaman, melainkan keterbukaan. Pertanyaan kritis harus dihadapi dengan jiwa besar, karena justru di situlah legitimasi kepemimpinan diuji. Pada akhirnya, demokrasi tidak hanya diukur dari keberadaan pemilu, tetapi juga dari sejauh mana negara menghormati ruang kritis pers. Insiden wartawan CNN harus menjadi pengingat: kebebasan pers kita masih rapuh, mudah terbelenggu oleh sensitivitas politik, dan rawan terkikis jika publik membiarkannya. Maka, tugas kita bersama adalah menjaga agar ruang kritis tetap hidup. Sebab tanpa kebebasan pers, demokrasi hanya tinggal nama, dan bangsa ini kehilangan salah satu penopang utamanya.

Oleh Benny Achmad Bastarie, SH

Pemimpin Redaksi SKU Media Kota & mediakota-online.com

 

 

By Wira