Mediakota-online.com
Media sosial akhir-akhir ini diramaikan dengan kemunculan dua istilah yang tengah menjadi perbincangan hangat, yakni “Parcok” dan “Parjo”. Kedua kata ini bukan sekadar jargon biasa, melainkan membawa nuansa politik yang kental dan mencerminkan dinamika sosial di Indonesia.
Dari linimasa X hingga obrolan di platform lain, istilah ini terus bermunculan, mengundang rasa penasaran sekaligus perdebatan di kalangan warganet. Apa sebenarnya makna di balik kedua istilah ini?
“Parcok” merupakan singkatan dari “Partai Coklat,” sebuah istilah yang merujuk pada institusi kepolisian. Nama ini terinspirasi dari warna seragam cokelat yang menjadi ciri khas polisi di Indonesia.
Istilah ini mulai mencuat terutama sejak Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pilkada 2024, di mana sebagian pihak menuding adanya keterlibatan oknum polisi dalam mendukung kandidat tertentu.
Tuduhan ini membuat “Parcok” menjadi simbol kontroversi, terutama di kalangan yang kritis terhadap jalannya demokrasi.
Sementara itu, “Parjo” sering dikaitkan dengan “Partai Ijo,” yang diyakini sebagai julukan untuk Tentara Nasional Indonesia (TNI) karena seragam hijau yang identik dengan mereka.
Meski tak sepopuler “Parcok,” istilah ini kerap muncul dalam diskusi politik serupa, terutama saat membahas dugaan cawe-cawe aparat dalam kontestasi kekuasaan.
“Parjo” menjadi semacam cerminan rivalitas atau kolaborasi antara dua institusi besar di mata publik, tergantung sudut pandang yang diambil.
Asal-usul kedua istilah ini sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari kreativitas warganet dalam menyikapi situasi politik. “Parcok” pertama kali ramai dibicarakan setelah Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto, menggunakan istilah ini untuk mengkritik dugaan intervensi polisi dalam Pilkada 2024.
Dari sana, kata ini menyebar luas, diadopsi oleh pengguna media sosial untuk menyindir atau sekadar bercanda. “Parjo,” di sisi lain, muncul sebagai pelengkap narasi, meskipun belum ada konfirmasi resmi yang memperkuat maknanya.
Kontroversi di balik “Parcok” semakin memanas ketika anggota DPR dari PDIP, Yulius Setiarto, tersandung kasus etik akibat unggahannya tentang istilah ini.
Majelis Kehormatan Dewan (MKD) DPR akhirnya menjatuhkan sanksi teguran tertulis kepadanya pada Desember 2024, karena dianggap melanggar kode etik dengan menyebarkan narasi yang belum terverifikasi.
Kejadian ini menunjukkan betapa sensitifnya istilah tersebut dalam konteks politik Tanah Air.
Di sisi lain, “Parjo” belum mendapat sorotan sebesar “Parcok,” tetapi tetap menjadi bagian dari percakapan di media sosial. Beberapa warganet menduga istilah ini sengaja diciptakan untuk menyeimbangkan narasi, seolah menyeret TNI ke dalam pusaran tuduhan serupa.
Namun, hingga kini, belum ada bukti konkret yang mendukung asumsi tersebut, membuat “Parjo” lebih terasa seperti spekulasi ketimbang fakta yang mapan.
Reaksi publik terhadap kedua istilah ini pun beragam. Ada yang menganggapnya sebagai bentuk kritik cerdas terhadap penyalahgunaan wewenang, sementara yang lain melihatnya sebagai hoaks yang berpotensi memecah belah.
Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, misalnya, pernah menyebut tuduhan soal “Parcok” sebagai informasi bohong yang tidak logis. Pernyataan ini tentu memicu pro dan kontra, memperpanjang umur diskusi di ranah digital.
Terlepas dari benar atau tidaknya tuduhan di balik “Parcok” dan “Parjo,” fenomena ini menunjukkan kekuatan media sosial sebagai ruang ekspresi masyarakat. Istilah-istilah tersebut bukan hanya sekadar kata, tetapi juga cerminan keresahan, harapan, dan sindiran terhadap realitas politik.
Di tengah hiruk-pikuk informasi, publik diajak untuk lebih kritis memilah mana yang fakta dan mana yang sekadar narasi.
Pada akhirnya, “Parcok” dan “Parjo” mungkin akan terus hidup di jagat sosmed selama isu politik tetap relevan.
Keduanya telah menjadi bagian dari kosakata digital yang mencatat sejarah dinamika sosial Indonesia di tahun 2025. Yang jelas, di balik viralnya istilah ini, ada panggilan untuk menjaga integritas demokrasi agar tidak ternoda oleh kepentingan sesaat. [Wira]