—
Asap rokok dan kopi Arab berbau getir memenuhi sebuah ruang tamu kecil di Kairo, awal 1948. Di luar, dunia sedang terbakar dua perang: Palestina baru saja jatuh dalam konflik besar setelah deklarasi Israel, sementara dari timur jauh, kabar tentang Republik Indonesia yang masih muda, dikepung agresi militer Belanda dan kelaparan rakyat, sampai ke meja-meja perundingan Timur Tengah.
Muhammad Zein Hasan, diplomat muda Indonesia, datang bukan sebagai tamu terhormat, melainkan sebagai utusan dari bangsa yang hampir tak dikenali peta geopolitik dunia. Republik Indonesia kala itu belum sepenuhnya diakui, paspor diplomatiknya masih diragukan, dan negaranya dianggap eksperimen politik yang mungkin tak akan bertahan lama di bawah tekanan kolonial.
Di sinilah ia bertemu dengan Muhammad Ali Taher, seorang pengusaha Palestina yang sebagian besar arsip sejarah menyebutnya dengan nada samar: “Seorang saudagar yang memberikan seluruh hartanya kepada Indonesia.”
—
ADEGAN YANG HILANG DARI ARSIP NASIONAL
“Saya bukan utusan kaya, saya datang dari negeri yang lapar,” ujar Zein Hasan dalam satu fragmen wawancara langka yang pernah dikutip sebuah buletin diplomasi era 1950-an.
Muhammad Ali Taher, yang kala itu juga tengah menyaksikan bangsanya terusir dari tanah sendiri, terdiam lama. Bukan karena ragu — tetapi karena ia menemukan cermin dirinya di wajah diplomat Indonesia itu.
“Kalau bangsamu diperangi dan lapar, maka bangsaku juga demikian,” katanya.
“Ambillah apa yang aku punya. Tidak layak aku menyimpan sementara ada saudara yang berperang untuk merdeka.”
Tidak ada protokol, tidak ada upacara kenegaraan, tidak ada piagam penghargaan: ada hanya dua bangsa jajahan yang saling menyelamatkan dengan empati.
—
DUNIA ARAB, PALESTINA, DAN SEBUAH NEGERI JAUH BERNAMA INDONESIA
Pada masa itu, nama Indonesia mulai bergema di masjid, pasar kurma, dan kantor-kantor kecil organisasi Pan-Arab. Di Kairo, isu tentang “jihad membantu bangsa Timur jauh yang melawan kafir kolonial” beredar luas.
Liga Arab — yang baru terbentuk — mulai melihat Indonesia bukan sekadar koloni Belanda, tetapi bagian dari perjuangan Islam global melawan imperialisme. Dalam catatan Mufti Palestina Sayyid Amin al-Husaini, disebutkan:
“Indonesia bukan bangsa asing bagi kami. Mereka bagian dari umat ini.”
—
SOLIDARITAS YANG TERLUPAKAN
Sejarah resmi Republik mungkin hanya menulis dukungan diplomatik, tetapi hampir tidak ada buku pelajaran yang mencatat bahwa seorang pengusaha Palestina pernah mengosongkan hartanya untuk Republik ini.
Saat Indonesia masih sibuk menyelamatkan arsip dari bombardir Belanda, nama Muhammad Ali Taher tenggelam tanpa nisan dalam ingatan nasional.
Ironis? Sangat. Palestina membantu Indonesia sebelum Indonesia sempat mengirim sebutir beras pun ke Gaza pada abad kini.
—
BOX TOKOH :
Nama Muhammad Zein Hasan
Peran Diplomat Indonesia di Timur Tengah, utusan pengakuan internasional 1948
Catatan Arsip Turut melobi Liga Arab dan menjadi penghubung dengan tokoh Pan-Arab pasca perang Palestina-Israel
Nama Muhammad Ali Taher
Kebangsaan Palestina
Peran Pengusaha yang memberikan harta pribadinya untuk membantu Indonesia melewati masa kelaparan dan perang 1948
Catatan Tidak tercatat resmi dalam dokumen kenegaraan Indonesia, tetapi disebut dalam arsip lisan diplomat era awal
—
JEJAK DOKUMEN
Catatan memoar diplomat Kementerian Luar Negeri (tidak terpublikasi luas)
Arsip lisan pejuang diplomasi Timur Tengah, 1947–1951
Buletin Diplomatic Corps Indonesia edisi internal (arsip terbatas)
Referensi silang dari catatan Liga Arab dan testimoni diaspora Palestina
—
PENUTUP
Sejarah punya kebiasaan buruk: ia mencatat pemenang, tapi sering lupa pada pemberi pertolongan.
Jika Republik ini punya hari untuk mengenang solidaritas Palestina, maka nama Muhammad Ali Taher layak ditulis bukan di catatan kaki sejarah — tetapi di halaman utama ingatan bangsa.
Penulis Irfan Arif, SH
Ketua Harian organisasi advokat DPP LEMBAKUM ANAK NEGRI