Jakarta – mediakota-online.com
Isu mengenai pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka kembali menjadi sorotan publik setelah Forum Purnawirawan Prajurit TNI mengajukan tuntutan resmi kepada DPR.
Tuntutan ini disambut dengan analisis hukum oleh Prof. Dr. Mahfud MD yang menilai dasar hukum dari permintaan tersebut memiliki kekuatan argumentasi yang layak dipertimbangkan secara serius.
Mahfud MD menyampaikan pandangannya dalam program podcast Terus Terang yang tayang di kanal YouTube miliknya pada 10 Juni 2025.
Ia menyebut Pasal 7A UUD 1945 sebagai dasar utama yang membuka peluang pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden apabila terbukti melakukan pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, kejahatan berat, perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat.
Mahfud menegaskan bahwa dugaan pelanggaran etik dalam proses pencalonan Gibran oleh Mahkamah Konstitusi, serta isu korupsi yang menyeret nama keluarganya, bisa dikategorikan sebagai alasan sah untuk melanjutkan proses.
Namun ia juga menekankan bahwa prosedur pemakzulan sangatlah panjang dan penuh tantangan karena harus melewati serangkaian mekanisme politik yang kompleks.
Mulai dari verifikasi internal DPR, paripurna dengan dukungan dua per tiga anggota, kemudian penilaian oleh Mahkamah Konstitusi, hingga sidang penentuan oleh MPR.
Mahfud menyebutkan bahwa konfigurasi kekuatan politik di DPR sangat berperan dalam menentukan apakah proses ini bisa terus bergulir atau tidak.
Ia menegaskan bahwa meskipun hukum terlihat kaku, dalam praktiknya tetap berada di bawah pengaruh pertimbangan politik.
Mahfud juga menyinggung bahwa sejarah Indonesia mencatat proses pemakzulan presiden sebelumnya kerap berjalan di luar jalur formil, mengandalkan tekanan politik dan kekuatan publik.
Dalam skema pergantian Wakil Presiden, Mahfud menjelaskan bahwa Presiden memiliki hak penuh untuk mengajukan dua nama calon ke MPR.
Nama-nama seperti AHY, Puan Maharani, dan Ganjar Pranowo dinilai potensial jika pergantian jabatan benar-benar terjadi.
Ia menutup pandangannya dengan menekankan bahwa dalam iklim demokrasi seperti sekarang, tekanan publik yang besar bisa memengaruhi proses politik di parlemen.
Kini, nasib tuntutan pemakzulan Gibran berada di tangan DPR.
Seluruh tahapan selanjutnya sangat tergantung pada keputusan politik yang akan diambil, serta seberapa kuat dukungan masyarakat mengawal proses ini sampai akhir. [Benn/Wira]