Petani 1 KK dulunya Transmigrasi tahun 1978. Dapat lahan 2 ha dan pekarangan rumah 0,5 ha. Tentu telah jadi sertifikat hak milik (SHM). Pengakuan atas hak tanah tertinggi oleh negara yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Negara (BPN) mewakili negara. Tanpa sadar lahannya jadi ilegal karena diklaim oleh Kementerian LHK dianggap HPK atau HP. Masuk kawasan kehutanan sekalipun desanya ribuan rumah telah teebangun permanen.
Sekitar 6 tahun silam latah menanam sawit 2 ha. Di atas lahan SHM dari pemerintah tersebut. Karena belum punya pengalaman hal sawit. Maka beli bibit yang termurah. Tanpa berpikir panjang dampak provitasnya hanya 50% dari benih legal inovasi Puslit selama 20 tahun masa produktifnya kelak. Bahkan tetangganya benih yang ditanam leles brondolan tumbuh di bawah pohon sawit liar. Duh, kok jauh mimpi tahu Puslit itu apa. Sekalipun Puslit (PPKS Medan) milik mereka juga, karena milik negara.
Saat ini terlihat bahagia karena tiap bulan rerata bisa 2,5 ton/2 ha. Harga Rp 3.200 dijual ke penampungan terdekat. Setara dapat omzet Rp 8 juta/bulan/2 ha. Merasa bersyukur dibandingkan dulu 3 tahun lalu hanya laku Rp 700/kg. Tanpa tahu juga harga untuk petani di Malaysia Rp 4.900/kg dan di Thailand Rp 5.400/kg. Selisihnya Rp 1.900/kg. Setara rugi Rp 4,7 juta/bulannya dibanding di Thailand.
Mereka tetap terlihat bersyukur dan bahagia. Tanpa tahu bahwa dipungut 2x yaitu untuk pajak ekspor (bea keluar) dan pungutan ekspor oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Tanpa peduli lahan legal atau ilegal. Hingga tahun 2021 BPDPKS terkumpul dana pungutan ekspor sebanyak Rp 72 triliun. Tanpa tahu juga sebagian untuk subsidi Biodiesel dan minyak goreng.
Agar masyarakat non petani sawit terbantu harganya terjangkau. Sekalipun mereka juga kena dampak betapa sulitnya mendapatkan minyak goreng. Padahal di belakang rumah banyak sawit diurusnya sebagai bahan baku minyak goreng sehat yaitu sawit. Lucunya, selama ini masyarakat sawit hanya jadi “sasaran empuk tempat salah”. Karena kampanye negatif katanya sawit tidak sehat, tidak ramah lingkungan dan lainnya.
Bahkan dianggap yang punya sawit hanya konglomerat dan PMA saja. Padahal sawit ada jutaan KK petani punya seluas 6,8 juta ha. Atau setara 42% dari total luas sawit Indonesia 16,38 juta ha. Makin pedih tapi tanpa dipedulikan adalah dari 6,8 juta ha direbut oleh Kementerian LHK seluas 2,4 juta ha. Tidak peduli puluhan tahun sudah dihuni dengan pegangan SHM. Maklum mereka orang-orang kecil seperti saya cuma Pak Tani.
Tak jarang mereka rombongan datang ke rumah mengadu. Silih berganti. Dengan simbol-simbol kesederhanaannya. Pakaian tanpa merk terkenal dan sandal jepit. Tapi putra putrinya sedang proses studi di perguruan tinggi. Saya hanya sesama petani, tidak bisa berbuat apa-apa. Selain ajakan agar semakin belajar ikhlas dan sabar dengan kenyataan ini. Dengan semakin sering “berdoa dasar hati bersih niscaya kabul”.
*Doanya berisikan supaya para pemimpin terkait. Utamanya Menteri LHK segera menyadari ini. Dalam bahasa Sansekerta _Tat Twam Asi_ artinya kembalikan ke diri sendiri. Mumpung masih sehat dan menjabat agar hidup terasa ada manfaatnya buat sesama. Karena sebaik-baiknya manusia adalah orang yang bermanfaat bagi orang lain ( _Khairun Nas_ ). Semoga doa itu, karena berjemaahnya jutaan KK petani sawit lekas kabul. Lahannya kembali legal.*
Salam
Wayan Supadno
Pak Tani