Jakarta, mediakota-online.com
DPR atau Presiden harus mengawasi dan menyetop praktek penghentian penuntutan perkara narkotika, atas dasar restorative justice atau keadilan restoratif yang disetujui JAM PIDUM Kejaksaan Agung RI.
“Karena Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum. (K.3.3.1), tidak berdasarkan UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika,” ujar Anang Iskandar dalam keterangan tertulisnya, Senin (1/1/2023).
Mantan Kepala BNN ini menjelaskan, perlu diketahui bahwa UU Nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika adalah Undang-undang super khusus yang mengatur narkotika sebagai obat yang dapat menimbulkan sakit ketergantungan, secara pidana, medis dan sosial sebagai bagian yang tidak terpisahkan, bersifat lex specialis superior yaitu mengesamping ketentuan UU yang bersifat umum dan khusus termasuk UU yang mengatur tentang kejaksaan.
Masih kata Anang Iskandar, kalau Kejaksaan Agung menggunakan ketentuan dalam undang-undang kejaksaan maka akan terjasi konflik hukum dengan undang-undang narkotika yang bersifat lex specialis superior tentang penegakan hukum tindak pidana narkotika,” ucapnya.
Undang-undang narkotika, hanya memberikan kewajiban dan kewenangan kepada hakim untuk me-restoratif bentuk hukuman untuk mewujudkan keadilan restoratif.
Sedangkan penuntut umum termasuk penyidik narkotika dan hakim, berdasarkan turunan UU narkotika yaitu PP no 25 tahun 2011 tentang wajib lapor pecandu, diberi kewajiban dan kewenangan untuk menempatkan penyalah guna kedalam lembaga rehabilitasi selama proses pemeriksaan guna mendukung mewujudkan keadilan restoratif.
Penempatan penyalah guna kedalam lembaga rehabilitasi atas perintah penuntut, termasuk atas perintah penyidik narkotika dan hakim diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman, menggantikan upaya paksa penahanan dalam sistem peradilan pidana.
Keadilan restoratif termaktup dalam UU narkotika pasal 127/2 dengan redaksional menyatakan bahwa hakim dalam memeriksa perkara penyalahgunaan narkotika “wajib” memperhatikan pasal 54 (taraf ketergantungan terdakwanya), pasal 55 (kewajiban hukum terdakwanya) dan penggunaan kewenangan hakim (pasal 103) untuk memutus atau menetapkan yang bersangkutan menjalani rehabilitasi yang mengcover ranah pidana, medis dan sosial akibat penyalahgunaan narkotika.
“Penegakan hukum terhadap masalah penyalahguan narkotika menitik beratkan proses restorative justice dengan mengganti hukuman pidana penjara menjadi hukuman rehabilitasi dengan tujuan penyalah guna pulih seperti sediakala, dalam rangka wujudkan kepastian hukum dan rasa keadilan,” ulas Anang yang juga Ahli Hukum Pidana Narkotika.
Kenapa penyalah guna yang nota bene harus direhabilitasi selama proses pemeriksaan dan dijatuhi hukuman rehabilitasi?
Karena penyalah guna adalah korban kejahatan perdagangan gelap obat golongan narkotika yang secara yuridis dikriminalkan oleh UU sebagai penyalah guna narkotika, secara medis penyalah guna narkotika tersebut menderita sakit ketergantungan narkotika dan gangguan mental, dimana penyalah guna tersebut memerlukan rehabilitasi medis dan sosial agar dapat melakukan integrasi sosial kembali.
Dengan hakim me-restorative bentuk hukuman pidana penjara menjadi hukuman rehabilitasi maka masalah pidana, masalah kesehatan dan masalah sosial mendapatkan solusi secara terintegrasi.
Solusinya diatur dengan jelas
Pertama, penanggulangan masalah narkotika secara non pidana diatur dalam pasal 55, khusus penyalah guna narkotika diwajibkan UU dan Program Pemerintahnya untuk melakukan wajib lapor pecandu, guna mendapatkan perawatan berupa rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial dengan biaya ditanggung negara, selama 2 kali masa perawatan.
Kalau penyalah guna melakukan wajib lapor pecandu maka demi hukum, status pidananya gugur berubah menjadi tidak dituntut pidana (pasal 128/2), dengan demikian masalah narkotika baik secara pidana, medis dan sosial selesai secara terintegratif.
Bila mengalami relapse setelan dua kali masa perawatan di IPWL maka biaya rehabilitasi ditanggung oleh keluarganya.
Mekanisme tersebut diatas, belum sepenuhnya dijalankan oleh Kemenkes sehingga penyalah guna kesulitan mendapatkan upaya rehabilitasi.
Kedua, penyelesaian perkara melalui penegakan hukum, dimana hanya hakim yang diberi kewajiban (pasal 127/1) dan kewenangan (pasal 103) untuk merestoratif bentuk hukuman dari hukuman pidana penjara menjadi hukuman menjalani rehabilitasi.
Mekanisme tersebut diatas belum sepenuhnya dijalankan oleh hakim, kalau hakim menggunakan acara pidana umum maka penyalah guna pasti di jatuhi hukuman penjara. Inii yang menyebabkan over kapasitas lapas.
Rehabilitasi atas perintah UU dan rehabilitasi atas keputusan atau penetapan hakim tersebut diatas, biaya rehabilitasi menjadi tanggung jawab negara karena negara berkepentingan untuk itu.
Alasan Penghentian Penuntutan
Salah satu contoh perkara yang dihentikan penuntutannya berdasarkan keadilan restoratif dan disetujui oleh JAM PIDUM untuk direhabilitasi yaitu Tersangka PUGUH ERWANTO BIN GUNUNG dari Kejaksaan Negeri Trenggalek yang disangka melanggar Kesatu Pasal 114 ayat (1) atau Kedua Pasal 112 ayat (1) jo. Pasal 132 ayat (1) atau Ketiga Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Dimana hasil pemeriksaan laboratorium forensik, Tersangka PUGUH ERWANTO BIN GUNUNG positif menggunakan narkotika, dan berdasarkan hasil penyidikan dengan menggunakan metode know your respect, Tersangka PUGUH ERWANTO BIN GUNUNG tidak terlibat jaringan peredaran gelap narkotika dan merupakan pengguna terakhir (end user).
Adapun alasan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif yaitu:
Tersangka hanya sebagai penyalahguna narkoba untuk diri sendiri; Tersangka ada ketergantungan untuk pemakaian narkoba; Tersangka tidak berperan sebagai produsen, bandar, pengedar, dan kurir terkait jaringan gelap narkotika; Tersangka bukan resdivis kasus narkotika;
Tersangka tidak pernah dimasukkan dalam daftar pencarian orang (DPO); Barang bukti (BB) yang sedang dihisap tersangka bersama HADI PRASETIANTO (saksi) adalah milik saksi sendiri; Dan orang tua tersangka sanggup dan siap membina tersangka kembali menjadi orang yang baik.
Dampak negatif penghentian penuntutan
Perkara penyalahgunaan narkotika dihentikan ditingkat penuntutan maka hanya masalah pidananya saja yang selesai, justru menyisakan masalah kesehatan dan masalah sosial yang lebih penting dari pada masalah pidana, padahal UU menyatakan penyalah guna dalam proses penegakan hukum dijamin mendapatkan upaya rehabilitasi
Kelemahan penghentian penuntutan adalah bila orang tua tersangka tergolong miskin, dan tidak sanggup dan tidak siap membiayai rehabilitasi untuk menyembuhkan sakit ketergantungan narkotikanya, maka tidak memenuhi sarat untuk dihentikan penuntutannya. Akibatnya penghentian penuntutan tidak mencerminkan asas equality before the Law, hanya bagi mereka yang keluarganya sanggup dan mampu membiayai proses rehabilitasi yang mendapatkan penghentian penuntutan.
Model penghentian penuntutan perkara narkotika disamping tidak berdasarkan UU narkotika, juga membuka celah untuk dipraperadilan oleh Aktivis atau lembaga yang bergerak dibidang anti narkotika ataupun keluarganya tentang sah atau tidaknya penghentian penuntutan, dan
Rawan terjadinya budaya wani piro dengan cara menawarkan jasa penghentian penuntutan, yang sulit dikontrol oleh JAM PIDUM Kejaksaan Agung sebagai fihak yang menyetujui.
Saran dalam penegakan hukum masalah narkotika
Kepada penyidik narkotika; penyalah guna narkotika jangan “ditangkapi dan dibawa kepengadilan” karena penyalahguna itu penjahat sakit kecanduan narkotika dan gangguan mental kejiwaan, tidak ada guna memenjarakan penyalah guna narkotika, mereka harus dicegah, dilindungi dan diselamatkan dengan cara direhabilitasi.
Lakukan sosialisasi secara preventif dan preemtif agar mereka untuk melakukan wajib lapor pecandu ke IPWL yaitu rumah sakit atau lembaga rehabilitasi milik pemerintah, bukan swasta untuk mendapatkan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial agar sembuh dan pulih dari sakit yang dideritanya.
“Rehabilitasi itu masuk tugas pokok dan fungsinya Kemenkes dan Kemensos secara yuridis merupakan cara yang dijitu dalam memberantas peredaran narkotika,” beber Anang.
Masih terang penjelasan Anang, yang juga mengajar di dua Universitas ternama, Rehabilitasi itu output nya sembuh dan pulih, bukan asal rehabilitasi sedangkan outcome nya tidak mengkonsumsi narkotika lagi.
Tugas pokok dan fungsi penegak hukum itu melakukan tindakan represif pelaku kejahatan narkotika yang berperan sebagai produsen, distributor dan agen penjual narkotika atau rantai peredaran gelap narkotika, khusus terhadap penyalah guna yang “tertangkap” tugas penegak hukum adalah menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi penyalah guna dan pecandu (pasal 4d),” pungkasnya. [Benn/Wira]